Suatu hari terdengarlah oleh Saya seorang petani yang sedang memprotes
pengumuman dari BMKG. “BMKG pembohong, penipu!” ucapnya. Rupa-rupanya
beberapa bulan yang lalu, si petani melihat siaran perkiraan cuaca dari
BMKG yang disiarkan di televisi. Waktu itu jelas sekali BMKG mengumumkan
bahwa diperkirakan pada awal bulan Februari tahun ini musim hujan akan
segera berakhir. Namun sekarang, bulan Februari sudah lewat, musim hujan
belum menunjukkan tanda-tanda mau berakhir.
Suatu ketika Saya berkesempatan mengunjungi salah satu daerah di negri yang luas ini. Ketika Saya disana terjadilah gempa bumi. Dengan waktu yang tidak begitu lama, keluarlah pengumuan dari BMKG mengenai kekuatan gempa dan titik koordinat lokasi gempa serta peringatan tsunami. Gempa terjadi di koordinat lintang X dan bujur Y, gempa berkekuatan 6,0 SR, terjadi pada kedalam sekian meter dan berpotensi tsunami, diharapkan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pantai yang berdekatan dengan lokasi gempa untuk segera mengungsi. Begitulah bunyi pengumuman dari BMKG. Alih-alih panik dan segera mengungsi, orang-orang malah sibuk mencemooh BMKG. “tidak akan terjadi tsunami, mereka sudah sering mengeluarkan pengumuman seperti itu tetapi tak pernah terjadi tsunami, BMKG itu pembohong, untuk apa kita repot-repot mengungsi” ucap salah seorang dari mereka.
Iya, memang benar, apa yang diumumkan BMKG tersebut belum tentu terjadi, bisa saja benar-benar terjadi atau tidak terjadi sama-sekali. Lalu, untuk apa kita mendirikan sebuah institusi yang bernama BMKG? Toh, fungsinya sekedar meramalkan sesuatu yang belum tentu terjadi, pemerintah benar-benar telah menghamburkan uang pajak dari masyarakat. Begitulah pikiran segelintir orang yang merasa dirinyalah yang paling pintar di negri ini.
...
Akhir-akhir ini, Saya disibukkan dengan aktifitas pembuatan proposal tesis Saya. Saya mencari referensi kesana-kemari, membaca buku ini dan buku itu, menganalisis jurnal, dan sebagainya. Begitulah aktifitas Saya berhari-hari.
Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Akhirnya, proposal tesis saya selesai. Sudah waktunya bagi Saya untuk bimbingan. Dengan hati yang penuh harap, Saya memberanikan diri menemui Profesor pembimbing Saya.
Sesampainya di kampus, Saya segera menuju ruangan Sang Profesor. Beliau dengan ramah mempersilahkan Saya masuk ruangannya dan meminta Saya untuk duduk dihadapannya. Sang Profesor bertanya kepada saya,”Anda yakin proposal Anda ini sudah benar?. Dengan singkat Saya pun menjawab,”Belum Prof, Saya belum yakin”. “Kalau begitu, silahkan Anda bawa pulang proposalnya dan perbaiki lagi”, sambung Sang Profesor.
Begitulah hasil bimbingan Saya. Saya diminta Profesor memperbaiki proposal Saya.
Aktifitas saya yang sebelumnya berulang kembali, demi memperbaiki proposal Saya. Kali ini, Saya membaca buku lebih banyak lagi, menganalisis banyak jurnal, membaca majalah ilmiah, dan sebagainya. Saya berkerja siang dan malam tak kenal lelah dan pantang menyerah.
Perbaikan proposal itu akhirnya selesai. Saya telah yakin kali ini, yakin bahwa proposal Saya telah benar dan siap untuk bimbingan kembali kepada Sang Profesor. Besar harapan Saya bahwa Profesor akan setuju.
Sama seperti bimbingan Saya yang pertama, Saya dipersilahkan masuk di ruangannya oleh Sang Profesor dan dipersilahkan duduk. Sang Profesor memperhatikan Saya dengan teliti, melihat-lihat disekeliling ruangannya sebentar, kemudian bertanya,” Anda yakin proposal Anda ini sudah benar?”. Pertanyaan yang sama dengan dulu pikir Saya. “Iya, Prof. Saya sudah yakin propsal Saya ini sudah benar”, Saya memberanikan diri menjawab dengan penuh keyakinan. Sang Profesor geleng-geleng kepala sebentar, kemudian berkata,”Gantilah judul Anda dan buatlah proposal yang baru!”.
Saya terhenyak, bisa-bisanya Sang Profesor meminta Saya mengganti judul tanpa membaca proposal Saya sama-sekali. Saya mencoba mengingat-ingat dan bertanya-tanya dalam hati, barang kali waktu perkuliahan dulu Saya ada salah denga Beliau. Namun, segera Saya tepis pikiran itu, Saya harus berpikir positif, mungkin memang proposal tesis Saya masih banyak kekurangan dan kesalahan, sehingga Saya harus mengganti judul saya.
Saya bukanlah orang yang mudah menyerah dan putus asa. Segerahlah Saya mencari judul baru. Kemudian mulai membuat proposal lagi. Kali ini Saya tidak mau proposal Saya ditolak lagi.
Kini, Saya benar-benar telah banyak membaca buku, majalah, dan makalah ilmiah, serta menganalisis jurnal dengan jumlah yang luar biasa banyaknya. Namun, jauh di dalam hati Saya muncul suatu penyakit, penyakit ragu-ragu. Saya rugu-ragu akan apa yang Saya tulis diproposal Saya, Saya ragu apakah itu benar atau salah.
Walau begitu, Saya masih tetap memberanikan diri menghadap kembali kepada Sang Profesor. Saya menghadap dengan rasa takut, sekaligus juga cemas. Sambil tersenyum Sang Profesor memulai pembicaraan,“Anda yakin proposal Anda ini sudah benar?”. Aduh!, pertanyaan ini lagi pekik Saya dalam hati. Kalau Saya salah menjawab nasib Saya akan sama seperti dulu. Dengan ragu-ragu dan cemas, Saya beranikan diri untuk menjawab,”Maaf Prof, Saya ragu-ragu dengan apa yang Saya tulis, bisa saja benar dan bisa juga tidak”. Mendadak Sang Profesor berdiri, mejulurkan tangahnya mengajak saya bersalaman. Saya tidak tau apa yang dimaksud Sang Profesor, Saya pun berdiri, Saya angkat tangan Saya dengan gemetar dan menyalaminya. “Selamat, Anda sudah menjadi seorang ilmuan!”, ucapnya dengan suara yang penuh makna. Mendadak Saya bingun, apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan Saya, menerka-nerka dan menduga-duga. Sang Profesor melanjutkan,”Seorang ilmuan bersifat skeptis, Dia selalu meragukan segala sesuatu”. Seketika pikiran saya menerawang, mencari-cari sesuatu dalam ingatan saya. Iya, saya ingat!, dulu ketika belajar filsafat, Sang Profesor pernah menyampaikan ini pada saya.
Seorang ilmuan pada mulanya selalu bersikap skeptis, Ia meragukan segala sesuatu. Jika, dikemukahkan padanya suatu teori tertentu, maka keraguan itu tercermin dalam sebuah pernyataan: jelaskanlah kepada Saya lalu berikan buktinya!. Nah, begitulah saya sekarang. Saya seorang ilmuan.
...
Ini hidup Kita! Kita bebas memilih untuk menjadi sesuatu yang Kita inginkan. Kita boleh saja menjadi orang yang merasa paling pintar di negri ini. Kita boleh juga menjadi orang yang peragu.
Oleh Zainal (Hansamu Oyoba)
Suatu ketika Saya berkesempatan mengunjungi salah satu daerah di negri yang luas ini. Ketika Saya disana terjadilah gempa bumi. Dengan waktu yang tidak begitu lama, keluarlah pengumuan dari BMKG mengenai kekuatan gempa dan titik koordinat lokasi gempa serta peringatan tsunami. Gempa terjadi di koordinat lintang X dan bujur Y, gempa berkekuatan 6,0 SR, terjadi pada kedalam sekian meter dan berpotensi tsunami, diharapkan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pantai yang berdekatan dengan lokasi gempa untuk segera mengungsi. Begitulah bunyi pengumuman dari BMKG. Alih-alih panik dan segera mengungsi, orang-orang malah sibuk mencemooh BMKG. “tidak akan terjadi tsunami, mereka sudah sering mengeluarkan pengumuman seperti itu tetapi tak pernah terjadi tsunami, BMKG itu pembohong, untuk apa kita repot-repot mengungsi” ucap salah seorang dari mereka.
Iya, memang benar, apa yang diumumkan BMKG tersebut belum tentu terjadi, bisa saja benar-benar terjadi atau tidak terjadi sama-sekali. Lalu, untuk apa kita mendirikan sebuah institusi yang bernama BMKG? Toh, fungsinya sekedar meramalkan sesuatu yang belum tentu terjadi, pemerintah benar-benar telah menghamburkan uang pajak dari masyarakat. Begitulah pikiran segelintir orang yang merasa dirinyalah yang paling pintar di negri ini.
...
Akhir-akhir ini, Saya disibukkan dengan aktifitas pembuatan proposal tesis Saya. Saya mencari referensi kesana-kemari, membaca buku ini dan buku itu, menganalisis jurnal, dan sebagainya. Begitulah aktifitas Saya berhari-hari.
Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Akhirnya, proposal tesis saya selesai. Sudah waktunya bagi Saya untuk bimbingan. Dengan hati yang penuh harap, Saya memberanikan diri menemui Profesor pembimbing Saya.
Sesampainya di kampus, Saya segera menuju ruangan Sang Profesor. Beliau dengan ramah mempersilahkan Saya masuk ruangannya dan meminta Saya untuk duduk dihadapannya. Sang Profesor bertanya kepada saya,”Anda yakin proposal Anda ini sudah benar?. Dengan singkat Saya pun menjawab,”Belum Prof, Saya belum yakin”. “Kalau begitu, silahkan Anda bawa pulang proposalnya dan perbaiki lagi”, sambung Sang Profesor.
Begitulah hasil bimbingan Saya. Saya diminta Profesor memperbaiki proposal Saya.
Aktifitas saya yang sebelumnya berulang kembali, demi memperbaiki proposal Saya. Kali ini, Saya membaca buku lebih banyak lagi, menganalisis banyak jurnal, membaca majalah ilmiah, dan sebagainya. Saya berkerja siang dan malam tak kenal lelah dan pantang menyerah.
Perbaikan proposal itu akhirnya selesai. Saya telah yakin kali ini, yakin bahwa proposal Saya telah benar dan siap untuk bimbingan kembali kepada Sang Profesor. Besar harapan Saya bahwa Profesor akan setuju.
Sama seperti bimbingan Saya yang pertama, Saya dipersilahkan masuk di ruangannya oleh Sang Profesor dan dipersilahkan duduk. Sang Profesor memperhatikan Saya dengan teliti, melihat-lihat disekeliling ruangannya sebentar, kemudian bertanya,” Anda yakin proposal Anda ini sudah benar?”. Pertanyaan yang sama dengan dulu pikir Saya. “Iya, Prof. Saya sudah yakin propsal Saya ini sudah benar”, Saya memberanikan diri menjawab dengan penuh keyakinan. Sang Profesor geleng-geleng kepala sebentar, kemudian berkata,”Gantilah judul Anda dan buatlah proposal yang baru!”.
Saya terhenyak, bisa-bisanya Sang Profesor meminta Saya mengganti judul tanpa membaca proposal Saya sama-sekali. Saya mencoba mengingat-ingat dan bertanya-tanya dalam hati, barang kali waktu perkuliahan dulu Saya ada salah denga Beliau. Namun, segera Saya tepis pikiran itu, Saya harus berpikir positif, mungkin memang proposal tesis Saya masih banyak kekurangan dan kesalahan, sehingga Saya harus mengganti judul saya.
Saya bukanlah orang yang mudah menyerah dan putus asa. Segerahlah Saya mencari judul baru. Kemudian mulai membuat proposal lagi. Kali ini Saya tidak mau proposal Saya ditolak lagi.
Kini, Saya benar-benar telah banyak membaca buku, majalah, dan makalah ilmiah, serta menganalisis jurnal dengan jumlah yang luar biasa banyaknya. Namun, jauh di dalam hati Saya muncul suatu penyakit, penyakit ragu-ragu. Saya rugu-ragu akan apa yang Saya tulis diproposal Saya, Saya ragu apakah itu benar atau salah.
Walau begitu, Saya masih tetap memberanikan diri menghadap kembali kepada Sang Profesor. Saya menghadap dengan rasa takut, sekaligus juga cemas. Sambil tersenyum Sang Profesor memulai pembicaraan,“Anda yakin proposal Anda ini sudah benar?”. Aduh!, pertanyaan ini lagi pekik Saya dalam hati. Kalau Saya salah menjawab nasib Saya akan sama seperti dulu. Dengan ragu-ragu dan cemas, Saya beranikan diri untuk menjawab,”Maaf Prof, Saya ragu-ragu dengan apa yang Saya tulis, bisa saja benar dan bisa juga tidak”. Mendadak Sang Profesor berdiri, mejulurkan tangahnya mengajak saya bersalaman. Saya tidak tau apa yang dimaksud Sang Profesor, Saya pun berdiri, Saya angkat tangan Saya dengan gemetar dan menyalaminya. “Selamat, Anda sudah menjadi seorang ilmuan!”, ucapnya dengan suara yang penuh makna. Mendadak Saya bingun, apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan Saya, menerka-nerka dan menduga-duga. Sang Profesor melanjutkan,”Seorang ilmuan bersifat skeptis, Dia selalu meragukan segala sesuatu”. Seketika pikiran saya menerawang, mencari-cari sesuatu dalam ingatan saya. Iya, saya ingat!, dulu ketika belajar filsafat, Sang Profesor pernah menyampaikan ini pada saya.
Seorang ilmuan pada mulanya selalu bersikap skeptis, Ia meragukan segala sesuatu. Jika, dikemukahkan padanya suatu teori tertentu, maka keraguan itu tercermin dalam sebuah pernyataan: jelaskanlah kepada Saya lalu berikan buktinya!. Nah, begitulah saya sekarang. Saya seorang ilmuan.
...
Ini hidup Kita! Kita bebas memilih untuk menjadi sesuatu yang Kita inginkan. Kita boleh saja menjadi orang yang merasa paling pintar di negri ini. Kita boleh juga menjadi orang yang peragu.
Oleh Zainal (Hansamu Oyoba)
Post a Comment